Masyarakat Enterpreneur

Sunday, July 09, 2006

Luar biasa mentor cyber saya ini, dari pov saya, inti dari keterpurukan di Indonesia adalah akibat dari kegagalan system pendidikan, sekolah2 dibentuk hanya untuk menghasilkan manusia2 bermental "peminta-minta", datar, berkarakter lemah, dan sangat tidak tergali kreativitas dan inovasi ... sebentar lagi kita akan melihat akibatnya, dengan ketertinggalan dan lack of knowledge dengan manusia2 dari negara tetangga.

Dengan pendidikan karakter, semestinya manusia2 Indonesia sudah sangat ahli dalam mengolah diri dan lingkungan sekitar menjadi kekuatan mandiri, paling tidak contonya ahli menanam singkong dan mengolahnya menjadi added value singkong untuk dikonsumsi kita sendiri dan export yang bernilai tinggi, ahli memanfaatkan panjang pantai di Indonesia yang luar biasa panjang menjadi kekuatan ekonomi, dlsb dlsb ... sepertinya memang ada ahli2 spt di atas, tapi mental enterpreneurshipnya kurang tergali sehingga hanya menjadi pegawai yang tidak inovative dan tidak didukung pemerintah ...

Wah bila ciri2 yang ditulis cyber mentor saya di bawah bisa terwujud, paling tidak mulai dari satuan terkecil, yaitu keluarga wah ... ndak lama deh Indonesia menjadi negara kompetitive ... semoga ... :-) ...

salam,
eko sjamsurizal

---



Masyarakat Enterpreneurship

Figur entrepreneur unggulan yang tahan banting, ulet, pantang
menyerah, menghormati etika, bebas priyayiisme, elitisme, premanisme
dan mafia-isme, anti KKN, siap menolong, membantu dan berkorban demi
sesama, tidak mendewakan uang, berorientasi pada prestasi, prigel
dan terampil, tangguh, tanggap dan trengginas, serta tidak cengeng
adalah potret seorang tokoh ideal yang menjadi acuan masyarakat
berbasis wirausaha. Sosok seperti itulah yang diharapkan bisa
muncul sebagai pemberi solusi atas morat-maritnya kondisi ekonomi
pada masa-masa sekarang yang berlatar belakang kerusakan dan
bejatnya moral banyak tokoh politik dan ekonomi.

Apabila seorang entreprenur seperti dimaksud di atas telah berhasil
muncul di pentas usaha kecil Indonesia, maka besar harapan akan
muncul pula tokoh-tokoh lainnya dari jenis dan kualitas yang sama,
sehingga perlahan tapi pasti suatu saat akan terbentuk sebuah
kelompok masyarakat yang berbudaya entrepreneur. Sebagaimana telah
sama-sama kita ketahui bahwa pada struktur kemasyarakatan Indonesia
memang terdapat segmen jenis ini, yang sifat tahan banting dan
keuletannya sudah teruji, maka impian akan terciptanya struktur
masyarakat Indonesia yang bercorak entrepreneur tentulah bukan hal
yang terlalu sulit untuk dicapai. Tinggal bagaimana memberikan
kesempatan kepada segmen yang tadinya masih kecil itu agar bisa
tumbuh menjadi besar, makin besar hingga akhirnya seluruh tatanan
masyarakat Indonesia bisa terbentuk menjadi masyarakata entrepreneur
seutuhnya. Apa manfaat sebuah masyarakat berbudaya entrepreneur
itu? Dan bagaimana ciri-cirinya?

Manfaat masyarakat entrepreneur sudah sangat jelas dan gamblang,
yaitu mampu memberi dukungan kuat dari bawah ke atas kepada
pemerintah dan negara, teristimewa dalam bidang ketahanan ekonomi,
yang pada gilirannya akan juga menunjang kemapanan semua aspek
kehidupan lainnya. Ciri-ciri masyarakat entrepreneur bisa dilihat
dari cara dan sikap hidup orang per orang di dalamnya, antara lain :

1) Kaum muda yang baru keluar sekolah, baik sarjana atau pun
bukan, tidak berorientasi mencari kerja. Sebaliknya, mereka
berlomba-lomba berusaha menciptakan kerja dengan menjadi pengusaha
kecil di bidang-bidang yang sesuai dengan minat dan pendidikan
masing-masing. Fenomena seperti itu seakan menjadi trend populer,
sehingga mereka amat bangga bila perusahaan atau unit usaha yang
didirikannya bisa berjalan dengan baik. Sebaliknya, mereka akan
merasa malu bila terpaksa harus melamar pekerjaan dan menjadi
pegawai orang lain. Kebanggaan akan makin bertambah bila ternyata
dalam usaha yang dijalankan itu, mereka justru sanggup
mempekerjakan banyak karyawan.

2) Generasi muda pada masyarakat entrepreneur memiliki
pandangan yang berbeda terhadap pekerjaan. Jika generasi orang-
orang tua mereka kurang menghargai profesi atau pekerjaan tertentu
yang dinilai kurang terhormat, maka mereka menganggap semua
pekerjaan halal adalah terhormat, meski pekerjaan itu mengharuskan
seseorang berkotor-kotor tangan, atau harus mengangkat barang-barang
berat serta bergelut debu berpanas matahari di atas gedung, di
pinggir jalan atau di pelataran kaki lima.

3) Anggota masyarakat entrepreneur tidak merasa bangga dengan
status. Yang sarjana tidak pernah mencantumkan gelar baik di depan
mau pun di belakang namanya. Bagi mereka, kebanggaan hanya datang
dari prestasi kerja. Gelar sarjana hanya mendatangkan perasaan
risih, terutama bila mereka ternyata belum memiliki prestasi apa-
apa. Di samping itu, karena gaya hidup mereka tidak untuk melamar
pekerjaan, ijazah dan gelar tidak terlalu menjadi kepentingan mereka.

4) Para orang tua dalam masyarakat entrepreneur berpandangan
luas dan bijaksana. Meski tidak mampu menyekolahkan anak-anak
mereka ke jenjang pendidikan tinggi, mereka tidak memaksa agar anak-
anak itu bekerja keras menjadi buruh atau kuli dengan upah yang
rendah. Sebaliknya para orang tua membimbing putra-putri nya yang
drop-out untuk berwirausaha di jalur-jalur yang benar, berdagang
atau berproduksi. Mereka mengarahkannya pada bidang-bidang yang
bermasa depan, meski itu hanya berupa usaha warungan misalnya.
Sekali-kali tidak pernah menganjurkan atau membolehkan anak-anak
menjadi penarik becak, pengemis dan semacamnya, apalagi menjadi
preman bagi yang laki-laki atau pelacur bagi perempuan.

5) Masyarakat entrepreneur amat menghargai waktu, sehingga
sampai pun pada hari-hari libur, sedapat mungkin mereka mengisinya
dengan acara-acara yang mengandung kewirausahaan, misalnya membuka
kios minum untuk orang-orang yang habis berolahraga pagi di tempat-
tempat umum, seperti di seputar tugu Monas atau di Senayan Jakarta.
Usaha ini dilakukan dalam suasana santai dan tidak "ngoyo".

6) Tipe masyarakat ini mempunyai kepribadian yang kuat. Mereka
tidak mau menjadi korban siasat bisnis orang lain, apalagi orang
asing. Sehingga meski mampu, mereka tidak pernah ada perasaan harus
mengenakan barang-barang bermerek, mobil mewah atau atribut-atribut
yang katanya menunjukkan tingkat kemapanan seseorang. Mereka
sepenuhnya sadar bahwa citra merek (brand-image) sengaja diciptakan
kaum pengusaha asing yang berusaha mendapatkan segmen pasar, melalui
simbol-simbol kemapanan kalangan tertentu. Itu sebabnya, masyarakat
entrepreneur tidak akan mengidap Xenophilia, mengagumi dan memuja
sesuatu yang berbau asing, termasuk barang-barang bermerek terkenal
kelas dunia.

7) Sebaliknya, mereka sangat mencintai produk sendiri atau
produk dalam negeri. Meski demikian, kecintaan ini didasarkan atas
logika bahwa dengan mencintai produk sendiri inilah bangsa kita akan
bebas dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan dalam
bidang ekonomi. Krisis ekonomi sekarang ini adalah perwujudan dari
dampak negatif ketergantungan Indonesia terhadap produk asing,
secara material mau pun teknologi. Mereka tetap sadar bahwa masih
banyak hal yang menyebabkan produk dalam negeri masih kalah dalam
mutu, akan tetapi di situlah justru letak tantangan yang perlu
dijawab. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan riset dan
penelitian, bukan malah lari ke produk asing, yang pada akhirnya
menghasilkan krisis ekonomi yang sudah berlarut-larut menyengsarakan
rakyat.

8) Masyarakat entrepreneur menyadari bahwa untuk mencapai
sukses, kuncinya tidak terletak pada tingkat pendidikan. Mereka
tahu bahwa Thomas Alva Edison begitu berhasil secara luar biasa,
sampai mampu memiliki ribuan hak paten atas penemuan-penemuannya,
bukan disebabkan tingkat pendidikannya. Walau hanya sekolah selama
3 minggu saja, Edison toh berhasil mendirikan perusahaan raksasa
General Electric, di mana para pembantunya justru terdiri dari para
insinyur yang hebat-hebat. Mereka mengerti bahwa sukses ditentukan
oleh semangat dan kegigihan hidup seseorang. Oleh sebab itu, insan-
insan entrepreneur tidak panik, meski mereka atau anak-anak mereka
tidak bisa mengecap pendidikan tinggi. Itu hanya sementara, karena
dengan hanya berbekal pendidikan umum 9 tahun, sudah cukup untuk
seseorang bisa memulai karir sebagai pengusaha kecil. Nanti,
setelah usahanya mapan, perkara meneruskan pendidikan adalah soal
mudah. Hal ini sudah dicontohkan oleh H. Soleh Sukarno, pendiri
restoran Soto Bangkong. Dengan tingkat pendidikannya yang cuma
kelas II Sekolah Dasar, nyatanya ia mampu menjadi pembayar pajak
penghasilan dengan kategori penghasilan Rp.1.000.000.000,- ke atas.
Mampu pula menyekolahkan anak ke Eropa. Apa lagi ?

9) Orang-orang dari masyarakat entrepreneur, sikap dan
tindakannya selalu "character based" (berbasis atas karakter)
serta "principle based" (berbasis prinsip). Sehingga apa yang
mereka tampilkan di luar, itulah pula yang ada di dalam hati mereka.
Berbisnis dengan tulus, serta jauh dari sifat-sifat kepalsuan.
Penampilan mereka biasa-biasa saja, berdasi pada saat harus berdasi,
ber-werkpaak pada saat harus kerja keras. Semua wajar dan tidak
berlebihan. Sangat berbeda dengan umumnya pelaku bisnis masa kini
yang kebanyakan berperilaku "personality based" (berbasis
kepribadian yang dibuat-buat) atau "appearance based" (berbasis
penampilan luar).

10) Meski setiap tahun ada sekitar 2,5 sampai 2,7 juta angkatan
kerja baru, sebagaimana dinyatakan oleh Staf Ahli Menteri Tenaga
Kerja, jumlah pengangguran pada masyarakat entrepreneur sangat
sedikit jumlahnya, karena hampir semua orang berorientasi
menciptakan pekerjaan. Semua ingin berusaha sendiri, sehingga
jarang sekali yang menunggu-nunggu adanya lowongan pekerjaan.
Melamar pekerjaan sebagai pegawai orang lain, merupakan tindakan
yang tidak populer, dan masyarakat cenderung malu melakukannya,
kecuali sangat terpaksa. Para orang tua yang memiliki perusahaan
cukup besar, selalu memberikan kesempatan pada anak-anak dan sahabat
anaknya, untuk mendirikan cabang, divisi, unit kerja
atau "franchise" dari perusahaannya itu. Semua dilakukan secara
bisnis murni, yang harus dibayar sungguh-sungguh oleh anak-anak
tersebut, dan bukan merupakan kontribusi fasilitas orang tua.

11) Karena pengangguran hanya sedikit jumlahnya, kalangan
industri menjadi kesulitan untuk mencari tenaga kerja. Ini
menimbulkan berkah bagi dunia perburuhan, karena kondisi seperti itu
membuat pasaran upah buruh menjadi tinggi melambung. Terkadang,
mencari tenaga buruh sama sulitnya dengan mencari tenaga profesional.

12) Pada gilirannya, sebagai akibat langka dan mahalnya tenaga
kerja, para industrialis dan pabrikan terpaksa beralih ke program
mekanisasi dan otomatisasi. Pekerjaan-pekerjaan yang selama ini di
tangani oleh tenaga manusia, diganti oleh tenaga mesin dan robot.
Fenomena tersebut membawa pengaruh pada meningkatnya percepatan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, termasuk
dalam bidang pertanian. Di sisi lain juga membuka kesempatan pada
calon-calon pengusaha baru yang ingin bergerak dalam bidang
teknologi industri.

13) Kaum buruh, pekerja dan karyawan pada masyarakat
entrepreneur, meski berada di bawah kendali orang lain yang
merupakan bos-bos mereka, para atasan dan manajer, tetapi suasana
kerja yang mereka miliki sudah sangat berbeda dengan suasana kerja
yang dialami oleh para pendahulu mereka. Sekarang, kedudukan buruh
amat dihargai hampir sama dengan kedudukan seorang profesional, upah
lebih dari cukup, fasilitas dan jaminan berlebihan. Mereka tidak
lagi diperlakukan hanya sebagai komponen faktor produksi
layaknya "mesin hidup", tapi lebih sebagai mitra kerja yang sejajar
kedudukannya dengan para majikan.

14) Para pedagang kaki lima, pada masyarakat entrepreneur yang
diperintah oleh pemerintah baru yang entrepreneurial, mendapat
tempat usaha yang layak, karena status mereka sebagai pengusaha
sokoguru ekonomi rakyat, amat dihormati pemerintah. Berbagai pusat
perbelanjaan kaki lima disediakan oleh Pemerintah Daerah lengkap
dengan segala prasarana serta sarana yang memadai. Pedagang sangat
senang dan bahagia dengan keadaan ini, sehingga sebagai kompensasi
atau imbal baliknya, mereka taat dan sanggup membayar pajak dalam
jumlah amat besar bagi kas Pemda.

15) Karena iklim berusaha sangat kondusif sejak tingkatan paling
bawah sampai tingkat paling atas, maka selain pengangguran hilang,
sampah-sampah masyarakat lainnya seperti kaum gelandangan, pengemis,
preman serta calo-calo angkutan, perlahan tapi pasti juga
menghilang. Tidak ada lagi yang "berani malu" untuk menjalankan
profesi-profesi liar dan tidak terhormat seperti itu, bukan saja
karena pemerintah bertindak keras, namun lebih karena nilai-nilai
masyarakat amat menista martabat kalangan tersebut.

16) Dunia pendidikan juga mendapat berkah yang tidak kecil,
sebagai akibat pengaruh positif munculnya masyarakat entrepreneur.
Masyarakat ini menghargai pendidikan sebagaimana adanya pendidikan,
yaitu dalam hubungannya dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Tidak
lagi dalam kaitan status, di mana latar belakang pendidikan
berhubungan langsung dengan soal kesempatan mendapatkan pekerjaan.
Masyarakat entrepreneur tidak berorientasi mencari pekerjaan,
termasuk tidak mencari kesempatan untuk menjadi pejabat
pemerintahan. Kemakmuran materi mereka jabarkan dalam bidang usaha
kewiraswastaan, bukan dengan cara menjadi pejabat yang kemudian
mencari kesempatan berkolusi dengan para kapitalis. Oleh karenanya,
bila anggota masyarakat memutuskan diri untuk bersekolah, itu
dikarenakan mereka membutuhkan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, bila
mereka tidak berkesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi, hal ini
pun tidak menjadikan suatu keresahan, karena hidup mereka bergantung
pada entrepreneurship, bukan pada tingkat pendidikan. Konsekuensi
dari fenomena ini adalah, minat generasi muda memasuki perguruan-
perguruan tinggi turun secara kuantitas, namun naik dalam kualitas.
Artinya, minat bersekolah tinggi murni didasarkan motivasi
penguasaan ilmu (kualitas), bukan karena beramai-ramai mengejar dan
memperebutkan kesempatan kerja di bursa kerja yang terbatas
(kuantitas). Maka, mungkin saja suatu saat terjadi bangku-bangku
universitas menjadi kosong kekurangan peminat. Biaya sekolah turun
drastis, mencapai tingkatan yang sangat murah, sampai pun kalangan
masyarakat terendah bisa menjangkaunya. Sementara itu, karena
masyarakat pembayar pajak meningkat pesat pada masyarakat yang
berbudaya entrepreneur, pemerintah sanggup menyediakan subsidi bagi
dunia pendidikan. Bahkan, pada suatu tingkatan, andaikata
pendidikan tinggi itu diusulkan gratis, mungkin saja pemerintah
tetap mampu melayaninya.

Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Mobile: 0816.144.2792

0 comments:

Post a Comment