Ungkapan Jujur Anak - Kritik Buat Orang Tua

Sunday, July 09, 2006

It's only a humble story,

Begitu mendengar berita hasil ujian nasional SMA terus dibarengi parodi jerit tangis bahagia maupun sedih, corat coret baju, aku semakin absurd dalam melihat maksud pemerintah dalam keseriusan menyiapkan "next generation", anak2 yang semestinya punya kecerdasan individu menjadi korban GRASS CUTTING model, dikepras kaya motong rumput, hanya yang kebetulan cocok dengan model sekolah negeri kitalah yang sukses, sementara anak2 dengan kecerdasan emosi, seni, spiritual dan cerdas dalam bidang non-formal menjadi minder dan merasa "TIDAK PANDAI" ... Allah sudah memberi karunia manusia sebagai subyek berbeda kenapa dengan pongahnya manusia menyamaratakan sesuai selera ... :_( ... oh DEPDIKNAS ... sok tau betul dengan menganggap sukses adalah bernilai A+ atau 10 dalam ijasah ... :-( ... it's so stupid,

menurut Robert T Kyosaki, sukses adalah bisa berpijak sedini umur mungkin dengan 2 kaki ... eh aku se mau bercermin thd diri saja, terasa aneh waktu di SMP/SMA aku begitu benci sama fisika, kimia, sama matematika (FKM), what so FREAKY THING ... sampe harus maksain les tambahan supaya "pinter" mata pelajaran itu, ngopi kunci jawaban ahh pokoke "pinter" dalam mendapat nilai, bukan pinter memahami ... kenapa baru umur 30an kaya sekarang aku baru "nikmat" menekuni FKM bahkan listrik, kenapa nggak dari dulu mata pelajaran itu menarik di mataku , kenapa hanya segelintir temen yang bisa pinter dan dapat menerima model pengajaran kaya guru SMA saya dulu, apakah hanya IQ - IQ tertentu yang bisa menerima model pengajaran otoriter spt itu??? ... wah semoga tidak menjadi "Kambing Hitam" saat2 sekarang, ya mungkin karena IQ ku yang pas2an ... :-) ... walo EQ, AQ, bahkan SQ belum jadi indikator yaaa, hingga aku mesti auto-complain spt ini ...

Kadang terasa kesel, begitu masuk dunia kerja, seperti terlambat punya kesempatan untuk menyukai FKM yang malah terbuka lebar karena sangat aplikativ dan menarik karena banyak alat peraga kerja, bahkan sekarang FKM dekat sekali dengan IT, dengan TI eh IT, sumber2 FKM menjadi semakin terbuka lebar dan sangat menarik, bahkan sebagian besar source pekerjaan malah bukan dari kantor tapi dari internet (IT), yes IT ... IT is the world wide library ... from earth to universe ... semua hal, remember "SEMUA HAL" adalah Fisika Kimia Matematika ...

Mungkin hanya sekedar impian, tapi beberapa temen PKS di jakarta sudah berhasil membuat sekolah alternative berbasis kompetensi (www.sekolahalam.org), hingga SD-SD alternative di lereng gn.Merapi yang lebih mementingkan performance daripada retorika kertas Ijasah ... pengen juga anak2 di sekeliling kita begitu melek dengan infomasi, suka FKM dengan minat dan kesadaran yang terbangun dari diri sendiri, dari hanya main PS yang sudah basi, seperti ikut karya ilmiah yang dikemas menarik hingga tidak melulu dianggap "extra kurikuler" sekolah ...

ah, mungkin sekedar impian dalam skup yang besar, paling tidak sebagai orang-tua model2 pengajaran otoriter dan one-way sudah tidak jaman nya lagi di abad informasi ini, anak adalah sahabat, teman seiring menjalani hidup, temen curhat, diskusi, dan terutama aset yang harus bisa mendo'akan kedua orang tuanya saat masih hidup maupun sudah tidak ada semoga kita benar atau tidak terlalu salah menjadi orang tua muslim modern yang egaliter dan berwawasan akherat ... aaamieen ...

ups jadi klupaan crita di bawah dari rekan di bawah ... :-) ...

salama,
eko sjamsurizal
http://ekosjamsurizal.blogspot.com/



UNGKAPAN JUJUR SEORANG ANAK


Tahun 2002 yang lalu aku harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu aku memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat aku tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.

Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut aku tanyakan kepada Dika:

"Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya aku.

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali aku berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.

Angka kecerdasan rata-rata anak aku mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160.

Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).

Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan aku untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, aku menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya aku bisa membaca jeritan hati kecil Dika.

Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat aku berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "aku ingin ibuku :...."

Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"

Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini aku kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu aku berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga aku merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya.

Waktu itu aku berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. aku selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit.
Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "aku ingin Ayahku ..."

Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu"

Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "aku ingin ibuku tidak ..."

Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"

Dalam banyak hal aku merasa bahwa pengalaman hidup aku yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang aku inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana.
Hampir-hampir aku ingin menjadikan Dika persis seperti diri aku. aku dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "aku ingin ayahku tidak : .."

Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa" Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga
hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. aku menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "aku ingin ibuku berbicara tentang ....."

Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".

aku cukup kaget karena waktu itu aku justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit,
sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut aku penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya.

Namun ternyata hal-hal yang menurut aku penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak aku. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu aku dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "aku ingin ayahku berbicara tentang .....",

Dika pun menuliskan "aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".

Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "aku ingin ibuku setiap hari ....."

Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku"

Memang adakalanya aku berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi aku sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata aku salah, pelukan hangat dan ciuman akung seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu aku tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "aku ingin ayahku setiap hari ...."

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata: "tersenyum"

Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya,tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "aku ingin ibuku memanggilku...."

Dika pun menuliskan "aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"

aku tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun akung, tanpa sadar, aku selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "aku ingin ayahku memanggilku .."

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".

Selama ini suami aku memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami aku.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, aku menjadi malu karena selama ini aku bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang aku kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai aku bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".

Tanpa aku sadari, aku telah melanggar hak anak aku karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidakhormat dan bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel,ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik.

(Ditulis oleh : Lesminingtyas)

0 comments:

Post a Comment